Tiap orang mungkin pernah mengalami suatu periode dimana
segala kondisi terasa stuck, tanpa progress yang berarti atau sedikit
progress pada tingkatan yang sangat lambat. Rutinitas yang terlaksana pun
hanyalah karena kewajiban dan tanggung jawab yang sifatnya terbatas. Inovasi
dan kreativitas mengering di dalam sebuah otak yang tumpul. Jenuh, bosah, lelah
dan mengarah padadisorientation. Jika ini adalah sebuah TalkShow dan
seorang audience bertanya pada saya, saya akan menjawab lantang “Yoi..,
gw pernah ngalamin kek gitu…!!”.
Lalu apa yang kemudian saya rasakan?
Seperti berdampingan dengan kura-kura ke dalam lintasan
lari, saya berkubang di tengah kebosanan yang luar biasa. Pikiran-pikiran saya
seperti menjadi tamu di benak sendiri. Ide itu selalu ada, maybe,
tapi effort is definetly zero. Saya menjadi pribadi yang kurang
produktif dan terancam menjadi parasit bagi sesama.
Saya menyebut hal itu sebagai sebuah stagnansi.
Lama saya melakukan diagnosis mengenai penyakit tersebut
sebelum benar-benar memutuskan untuk menemui dr.Wikipedia. Beliau
menggarisbawahi poin2 penting yang perlu saya benahi dalam kehidupan saya.
Diantaranya adalah mengenai “Comfort Zone” (Zona Kenyamanan).
Indikasi bahwa seseorang berada di dalam Zona Kenyamanan ini ditandai rendahnya
rasa kekhawatiran (Worry), tingginya tingkat kebosanan (Boredom),
berkurangnya Kontrol Diri serta meningkatnya keinginan untukRelax.
Secara simple, kita merasa nyaman apabila segala kebutuhan kita telah
terpenuhi seluruhnya, atau segala kebutuhan tersebut dapat kita peroleh
secara mudah. Implikasi dari kondisi tersebut adalah
menurunnya performance kerja dan kecenderungan untuk Steady,
yang pada akhirnya menciptakan stagnansi.
Stagnansi memiliki beberapa tingkat berdasarkan acuan
kondisi mental dan sosial mereka yang mengalaminya. Umumnya dimulai dengan
tingkat kebosanan yang bertambah dan repetisi terhadap suatu aktifitas yang
terasa semakin sering. Kualitas hasil pekerjaan tak ada peningkatan dan boleh
dibilang “ngikutin SOP doank..”. Kontribusi terhadap sosial berkurang dan
interaksi hanya sebatas rutinitas yang harus dijalani. Pada tingkatan yang
paling parah, kualitas hidupnya tidak bertambah baik dan cenderung monoton.
Kebutuhan sosial mulai terabaikan dan rutinitas hanya sebatas pemenuhan kebutuhan
hidupnya sendiri.
Mengacu kepada paragraf di atas, saya meluangkan waktu
menilik sejenak keseharian saya. Dengan besar hati, saya menikmati fakta bahwa
saya dibesarkan dalam kultur keluarga jawa yang realistis, yang menghargai
kerja dan memahami apresiasi terhadap kerja. Ironisnya, kultur Jawa dimana saya
dibesarkan cenderung menstimulasi pemikiran saya
menjadi Chaos. Terutama dengan petuah2 para sesepuh yang
berbunyi “Urip Rasah Ngoyo” (Hidup Jangan Ngotot) dan“Alon alon waton
kelakon” (Pelan-pelan asal terlaksana), yang kalo boleh saya interpretasikan
sebagai kondisi yang steady(mendekati stagnan) atau kondisi dengan sedikit
progress pada tingkatan yang sangat lambat. Saya hanya mengerti bahwa Budaya
dekat dengan Bahasa, andaikata demikian,
“Apakah selama ini masyarakat dalam kultur saya menikmati
stagnansi….?”
Cukup bagi saya mencermati permasalahan tersebut dan
mengambil tindakan. Secara jujur, yang saya lakukan kala itu adalah berusaha
sebisa mungkin menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas, melaksanakan
tanggung jawab dan memberikan kontribusi baik terhadap lingkungan terdekat
maupun bagi orang lain. Mengembangkan kreativitas adalah cara lain yang sering
saya lakukan, disamping pendalaman terhadap minat dan selalu berusaha
menghasilkan karya yang positif.
Saya bukan guru, karena saya tidak mencerdaskan orang.
Sekedar berbagi dan berusaha menelaah dimana harus menempatkan diri
sebagai “yang diam”atau “yang berjalan”. Katakanlah Win-Win
Solution tidak berlaku di sini karena hidup itu One Way, maka kita
akan menemukan 2 pilihan tersisa yaitu; mereka yang ingin keluar dari zona
kenyamanan dan mereka yang ingin tetap berdiam dalam zona kenyamanan.
Kenali diri kalian dan lakukanlah sesuatu terhadapnya
Life belongs to the living, and he/she who lives must be
prepared for changes.
– J.W Goethe -
Best Regards
Yoedana, Angga Satya
1 komentar:
Artikel km bnyk yg bagus..krja dmn skrg
Posting Komentar