Senin, 13 Februari 2012

Comfort Zone alias Zona Kenyamanan


Tiap orang mungkin pernah mengalami suatu periode dimana segala kondisi terasa stuck, tanpa progress yang berarti atau sedikit progress pada tingkatan yang sangat lambat. Rutinitas yang terlaksana pun hanyalah karena kewajiban dan tanggung jawab yang sifatnya terbatas. Inovasi dan kreativitas mengering di dalam sebuah otak yang tumpul. Jenuh, bosah, lelah dan mengarah padadisorientation. Jika ini adalah sebuah TalkShow dan seorang audience bertanya pada saya, saya akan menjawab lantang “Yoi.., gw pernah ngalamin kek gitu…!!”.

Lalu apa yang kemudian saya rasakan?

Seperti berdampingan dengan kura-kura ke dalam lintasan lari, saya berkubang di tengah kebosanan yang luar biasa. Pikiran-pikiran saya seperti menjadi tamu di benak sendiri. Ide itu selalu ada, maybe, tapi effort is definetly zero. Saya menjadi pribadi yang kurang produktif dan terancam menjadi parasit bagi sesama.
Saya menyebut hal itu sebagai sebuah stagnansi.

Lama saya melakukan diagnosis mengenai penyakit tersebut sebelum benar-benar memutuskan untuk menemui  dr.Wikipedia. Beliau menggarisbawahi poin2 penting yang perlu saya benahi dalam kehidupan saya. Diantaranya adalah mengenai “Comfort Zone” (Zona Kenyamanan). Indikasi bahwa seseorang berada di dalam Zona Kenyamanan ini ditandai rendahnya rasa kekhawatiran (Worry), tingginya tingkat kebosanan (Boredom), berkurangnya Kontrol Diri serta meningkatnya keinginan untukRelax. Secara simple, kita merasa nyaman apabila segala kebutuhan kita telah terpenuhi seluruhnya, atau segala kebutuhan tersebut dapat kita peroleh secara mudah. Implikasi dari kondisi tersebut adalah menurunnya performance kerja dan kecenderungan untuk Steady, yang pada akhirnya menciptakan stagnansi.

Stagnansi memiliki beberapa tingkat berdasarkan acuan kondisi mental dan sosial mereka yang mengalaminya. Umumnya dimulai dengan tingkat kebosanan yang bertambah dan repetisi terhadap suatu aktifitas yang terasa semakin sering. Kualitas hasil pekerjaan tak ada peningkatan dan boleh dibilang “ngikutin SOP doank..”. Kontribusi terhadap sosial berkurang dan interaksi hanya sebatas rutinitas yang harus dijalani. Pada tingkatan yang paling parah, kualitas hidupnya tidak bertambah baik dan cenderung monoton. Kebutuhan sosial mulai terabaikan dan rutinitas hanya sebatas pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri.

Mengacu kepada paragraf di atas, saya meluangkan waktu menilik sejenak keseharian saya. Dengan besar hati, saya menikmati fakta bahwa saya dibesarkan dalam kultur keluarga jawa yang realistis, yang menghargai kerja dan memahami apresiasi terhadap kerja. Ironisnya, kultur Jawa dimana saya dibesarkan cenderung menstimulasi pemikiran saya menjadi Chaos. Terutama dengan petuah2 para sesepuh yang berbunyi “Urip Rasah Ngoyo” (Hidup Jangan Ngotot) dan“Alon alon waton kelakon” (Pelan-pelan asal terlaksana), yang kalo boleh saya interpretasikan sebagai kondisi yang steady(mendekati stagnan) atau kondisi dengan sedikit progress pada tingkatan yang sangat lambat. Saya hanya mengerti bahwa Budaya dekat dengan Bahasa, andaikata demikian,

“Apakah selama ini masyarakat dalam kultur saya menikmati stagnansi….?”

Cukup bagi saya mencermati permasalahan tersebut dan mengambil tindakan. Secara jujur, yang saya lakukan kala itu adalah berusaha sebisa mungkin menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas, melaksanakan tanggung jawab dan memberikan kontribusi baik terhadap lingkungan terdekat maupun bagi orang lain. Mengembangkan kreativitas adalah cara lain yang sering saya lakukan, disamping pendalaman terhadap minat dan selalu berusaha menghasilkan karya yang positif.

Saya bukan guru, karena saya tidak mencerdaskan orang. Sekedar berbagi dan berusaha menelaah dimana harus menempatkan diri sebagai “yang diam”atau “yang berjalan”. Katakanlah Win-Win Solution tidak berlaku di sini karena hidup itu One Way, maka kita akan menemukan 2 pilihan tersisa yaitu; mereka yang ingin keluar dari zona kenyamanan dan mereka yang ingin tetap berdiam dalam zona kenyamanan.
Kenali diri kalian dan lakukanlah sesuatu terhadapnya

Life belongs to the living, and he/she who lives must be prepared for changes.
– J.W Goethe -
Best Regards

Yoedana, Angga Satya


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Artikel km bnyk yg bagus..krja dmn skrg